Salah satu keunggulan terbesar Imam Asy-Syafi’i adalah kemampuannya menyatukan dua cabang ilmu penting dalam Islam — hadis dan fikih. Di masa ketika sebagian ulama lebih condong pada rasionalitas (ahlur ra’yi) dan sebagian lainnya fokus pada teks hadis (ahlul hadits), Imam Syafi’i datang membawa jalan tengah yang harmonis: memadukan keduanya dengan metodologi yang kuat dan seimbang.
Pada masa itu, dunia Islam terbagi dalam dua kutub pemikiran. Di Irak, berkembang aliran ra’yi, yang mengedepankan logika dan analogi hukum karena sedikitnya hadis sahih di wilayah itu. Sementara di Madinah, aliran hadits lebih dominan, karena banyaknya perawi yang hidup di sekitar kota Nabi ﷺ. Imam Syafi’i, dengan kecerdasan dan keluasan ilmunya, mempelajari kedua tradisi itu langsung dari sumbernya.
Dari Imam Malik bin Anas di Madinah, ia belajar kehati-hatian dan ketelitian dalam menerima hadis. Dari murid-murid Imam Abu Hanifah di Irak, ia memahami pentingnya qiyas dan penalaran dalam menjawab masalah baru. Kedua pendekatan itu ia satukan dengan keseimbangan yang luar biasa.
Ia kemudian menyusun metode ilmiah dalam kitabnya “Ar-Risalah”, karya monumental yang menjadi dasar ilmu ushul fikih. Dalam kitab itu, Imam Syafi’i menjelaskan urutan dan kaidah pengambilan hukum:
- Al-Qur’an sebagai sumber utama;
- Sunnah Nabi ﷺ sebagai penjelas dan penguat Al-Qur’an;
- Ijma’ (kesepakatan ulama) sebagai bentuk kebersamaan umat dalam kebenaran;
- Qiyas (analogi hukum) sebagai sarana menjawab masalah baru secara logis tanpa keluar dari syariat.
Dengan sistem ini, Imam Syafi’i berhasil menjembatani jurang perbedaan antara ulama hadis dan ulama ra’yi. Ia menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang menghargai nash (teks) dan akal sekaligus — keduanya bukan bertentangan, tapi saling melengkapi.
Selain keilmuannya yang tajam, Imam Syafi’i juga dikenal tegas dalam prinsip dan lembut dalam sikap. Ia berani menolak pandangan yang dianggapnya lemah, tetapi tidak pernah merendahkan orang lain. Dalam banyak perdebatan, ia dikenal sopan dan berwibawa. Ia pernah berkata,
“Aku tidak pernah berdebat dengan seseorang kecuali aku berharap Allah menampakkan kebenaran melalui lisannya.”
Imam Syafi’i juga menaruh perhatian besar pada adab dalam berilmu. Ia menegaskan bahwa ilmu tanpa akhlak hanya akan melahirkan kesombongan. Karena itu, beliau sering mengingatkan murid-muridnya,
“Ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada hati yang bermaksiat.”
Keseimbangan antara akal dan wahyu, logika dan teks, menjadikan mazhab Syafi’i sebagai salah satu mazhab paling berpengaruh di dunia Islam. Dari Mesir hingga Nusantara, ajaran Imam Syafi’i menjadi pedoman umat dalam beribadah dan bermuamalah hingga hari ini.
Kecerdasannya bukan hanya pada cara berpikir, tapi juga pada ketegasan prinsip dan kebeningan hati. Ia membuktikan bahwa ilmu sejati bukan untuk menang dalam perdebatan, tapi untuk mendekatkan diri kepada kebenaran dan ridha Allah.