Ruang Sujud

Keteguhan Imam Abu Hanifah dalam Menegakkan Kebenaran di Hadapan Penguasa

Monitorday.com – Di antara banyak keutamaan yang melekat pada sosok Imam Abu Hanifah (Nu’man bin Tsabit), salah satu yang paling mengagumkan adalah keteguhannya dalam menjaga kebenaran, bahkan di hadapan penguasa yang zalim. Ia bukan hanya ulama besar dalam ilmu, tapi juga simbol keberanian moral yang tak bisa dibeli dengan kekuasaan atau harta.

Pada masa itu, dunia Islam berada di bawah kekuasaan Dinasti Umayyah, kemudian beralih ke Dinasti Abbasiyah. Kedua pemerintahan ini memiliki kecenderungan menggunakan para ulama untuk melegitimasi kekuasaan mereka. Namun Abu Hanifah menolak untuk menjadi alat politik siapa pun, karena ia meyakini bahwa hukum Allah harus dijaga dari pengaruh kepentingan dunia.

Suatu ketika, Khalifah Al-Manshur dari Abbasiyah menawarkan jabatan Qadhi (hakim agung) kepada Abu Hanifah. Namun, dengan tegas beliau menolak. Ia berkata,

> “Aku tidak layak untuk jabatan itu.”

Khalifah menjawab, “Engkau berdusta, wahai Abu Hanifah.”
Maka ia menjawab dengan tenang,

> “Kalau aku berdusta, berarti aku memang tidak layak menjadi hakim. Dan jika aku jujur, maka aku pun tetap tidak pantas.”

Jawaban itu membuat Al-Manshur murka. Abu Hanifah pun dipenjara dan disiksa, namun ia tetap tidak mau tunduk. Dalam tahanan, beliau tetap mengajar para muridnya dan berdakwah hingga wafat pada tahun 150 Hijriah.

Sebelumnya, di masa kekuasaan Yazid bin Umar, Abu Hanifah juga pernah dipenjara karena menolak memberikan legitimasi terhadap penguasa yang dianggapnya tidak adil. Ia rela kehilangan kebebasan fisik demi mempertahankan kebebasan hati dan akidahnya.

Sikapnya ini bukan karena ambisi politik, tapi murni karena cinta pada kebenaran. Ia percaya bahwa seorang ulama sejati tidak boleh takut pada penguasa, karena tugas mereka adalah menyampaikan kebenaran, bukan mencari kedudukan.

Advertisement. Scroll to continue reading.

Selain berani, Abu Hanifah juga bijak dalam menasihati. Ketika diminta pendapat oleh seorang murid tentang sikap terhadap penguasa zalim, ia berkata,

> “Jangan dekati mereka. Jika engkau melihat mereka, jangan tertipu. Jika mereka memberimu sesuatu, jangan terima. Karena mereka tidak memberi dari hal yang halal.”

Keteguhan Imam Abu Hanifah menjadi teladan bagi para ulama dan pemimpin umat di sepanjang zaman. Ia membuktikan bahwa kekuatan seorang alim bukan pada pengaruhnya di istana, tapi pada keberaniannya berdiri tegak di sisi kebenaran, walau sendirian.

Ia wafat dalam keadaan terhormat — dipenjara, tapi bebas dari noda pengkhianatan terhadap ilmu. Umat Islam mengenangnya bukan hanya sebagai ahli fikih, tetapi juga simbol integritas dan keberanian moral yang abadi.

Dari kisahnya, kita belajar bahwa menjadi pembela kebenaran tidak mudah, tapi kehormatan sejati hanya dimiliki oleh mereka yang berani menolak tunduk kepada kebatilan.

Exit mobile version