Banyak orang keliru memahami zuhud sebagai sikap menolak dunia, hidup miskin, dan menjauh dari kenyamanan. Padahal, hakikat zuhud adalah mengendalikan hati dari keterikatan terhadap dunia. Dunia boleh dimiliki, tetapi jangan sampai dunia memiliki hati kita. Rasulullah ﷺ hidup sederhana, namun beliau juga berdagang, berkeluarga, dan memimpin umat—itulah contoh zuhud sejati.
Zuhud bukan tentang seberapa sedikit harta yang dimiliki, melainkan seberapa besar hati mampu melepaskan ketergantungan pada harta. Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa zuhud adalah “meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat bagi akhirat.” Artinya, segala hal yang membuat seseorang lalai dari Allah, itulah yang harus dijauhi.
Dalam konteks kehidupan sekarang, zuhud bisa diwujudkan dengan gaya hidup minimalis, penggunaan harta secara bijak, dan menjauhi perilaku konsumtif. Orang yang zuhud tetap bekerja keras dan berprestasi, namun tujuannya bukan kemewahan dunia, melainkan keberkahan hidup. Inilah keseimbangan antara dunia dan akhirat yang menjadi inti ajaran Islam.