Ruang Sujud

Perdebatan Seputar Maulid Nabi: Bid’ah atau Ibadah?

Monitorday.com – Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW merupakan tradisi yang sudah mengakar di banyak negara Muslim, termasuk Indonesia. Setiap tahun, umat Islam memperingati kelahiran Nabi pada 12 Rabiul Awal dengan berbagai bentuk, mulai dari pengajian, pembacaan shalawat, hingga tradisi budaya lokal. Namun, di balik kemeriahannya, peringatan Maulid Nabi tidak pernah sepi dari perdebatan. Sebagian kalangan menganggapnya sebagai bid’ah yang tidak pernah diajarkan Rasulullah, sementara yang lain menilainya sebagai amalan baik yang dapat memperkuat iman dan cinta kepada Nabi.

Pandangan yang Menganggap Maulid Nabi Bid’ah

Kelompok yang menolak peringatan Maulid Nabi berpegang pada prinsip bahwa ibadah harus memiliki dasar dari Al-Qur’an, sunnah, atau ijma’ sahabat. Mereka menegaskan bahwa Rasulullah SAW, para sahabat, dan generasi salaf tidak pernah merayakan kelahiran Nabi. Oleh karena itu, menjadikannya sebagai acara rutin dianggap sebagai bid’ah yang tercela.

Dalil yang mereka gunakan antara lain hadis Nabi: “Barang siapa yang membuat perkara baru dalam urusan (agama) kami ini yang bukan berasal darinya, maka perkara itu tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dengan hadis ini, mereka menilai bahwa Maulid Nabi termasuk hal baru dalam agama yang tidak ada tuntunannya.

Selain itu, mereka khawatir perayaan Maulid bisa mengarah pada sikap berlebihan (ghuluw) dalam memuliakan Nabi. Misalnya, menganggap Maulid sebagai kewajiban agama, padahal Rasulullah tidak pernah memerintahkannya. Bagi kelompok ini, cinta kepada Nabi seharusnya diwujudkan dengan mengikuti sunnahnya, bukan dengan membuat tradisi baru.

Pandangan yang Membolehkan Maulid Nabi

Di sisi lain, banyak ulama besar membolehkan peringatan Maulid Nabi, bahkan menganggapnya sebagai amalan baik (bid’ah hasanah). Mereka berpendapat bahwa meski Maulid tidak dilakukan Rasulullah dan sahabat, peringatan ini memiliki nilai positif: memperbanyak shalawat, mempererat ukhuwah, menyebarkan ilmu, dan menumbuhkan cinta kepada Nabi.

Imam Jalaluddin As-Suyuthi, seorang ulama besar abad ke-15, menulis risalah khusus tentang keutamaan Maulid dan menyebutnya sebagai amalan terpuji. Ibn Hajar Al-Asqalani juga berpendapat bahwa Maulid Nabi pada dasarnya adalah perbuatan bid’ah, tetapi bid’ah yang baik karena mengandung unsur syukur dan dakwah.

Mereka menegaskan bahwa bid’ah tidak selalu tercela. Imam Asy-Syafi’i membagi bid’ah menjadi dua: bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah madzmumah (tercela). Jika sesuatu baru tetapi sejalan dengan prinsip syariat, maka hal itu termasuk bid’ah hasanah. Contohnya adalah pengumpulan mushaf Al-Qur’an di masa Abu Bakar atau penulisan ilmu nahwu, yang tidak ada di masa Nabi tetapi bermanfaat bagi umat.

Advertisement. Scroll to continue reading.

Dimensi Dakwah dan Sosial Maulid Nabi

Pendukung Maulid Nabi menekankan bahwa peringatan ini bukan sekadar ritual, melainkan sarana dakwah dan pendidikan. Melalui Maulid, ulama dapat menyampaikan kisah hidup Nabi, akhlak beliau, dan perjuangan dakwahnya. Dengan begitu, umat semakin mengenal dan mencintai Rasulullah.

Selain itu, perayaan Maulid sering disertai dengan sedekah, pembagian makanan, serta santunan kepada fakir miskin. Nilai sosial ini memperkuat persaudaraan dan solidaritas umat. Sehingga, meskipun tidak ada di masa Nabi, tradisi ini mengandung banyak manfaat bagi masyarakat.

Jalan Tengah: Menjaga Substansi, Menghindari Berlebihan

Perdebatan antara bid’ah atau ibadah seringkali memanas. Namun, banyak ulama menganjurkan umat untuk mengambil jalan tengah. Maulid Nabi bisa menjadi sarana kebaikan selama tidak disertai keyakinan yang menyimpang. Misalnya, jika perayaan Maulid dianggap wajib seperti shalat atau puasa, maka itu jelas salah. Tetapi jika dipandang sebagai ekspresi syukur dan sarana dakwah, maka hal itu bisa diterima.

Penting juga untuk menjaga perayaan Maulid dari praktik berlebihan, seperti mengkultuskan Nabi secara berlebihan hingga mendekati syirik. Islam mengajarkan untuk mencintai Nabi dengan cara mengikuti sunnahnya, meneladani akhlaknya, dan memperbanyak shalawat.

Relevansi Maulid Nabi di Era Modern

Di tengah tantangan global saat ini, Maulid Nabi bisa dijadikan momentum untuk menghidupkan kembali ajaran beliau. Tema Maulid bisa dikaitkan dengan isu-isu kekinian, seperti krisis moral, degradasi akhlak, dan lemahnya solidaritas sosial. Dengan mengingat perjuangan Nabi, umat dapat menemukan inspirasi untuk menghadapi tantangan zaman.

Selain itu, Maulid Nabi bisa menjadi ruang memperkuat ukhuwah. Di Indonesia, Maulid sering menjadi ajang berkumpulnya masyarakat lintas usia dan status sosial. Hal ini menumbuhkan rasa persaudaraan yang sangat penting untuk menjaga persatuan bangsa.

Advertisement. Scroll to continue reading.

Kesimpulan

Perdebatan tentang Maulid Nabi antara bid’ah atau ibadah memang telah berlangsung berabad-abad. Kelompok yang menolak berpegang pada prinsip ittiba’ kepada sunnah, sementara kelompok yang menerima melihatnya sebagai sarana syukur dan dakwah. Namun, keduanya sepakat bahwa cinta kepada Rasulullah adalah kewajiban utama.

Dengan menjaga niat yang tulus, menjauhi sikap berlebihan, dan menjadikan Maulid sebagai sarana dakwah, peringatan ini bisa terus hidup sebagai tradisi yang membawa manfaat. Pada akhirnya, yang terpenting bukanlah bentuk perayaannya, tetapi sejauh mana umat Islam mampu meneladani ajaran Nabi dalam kehidupan sehari-hari.

Exit mobile version