Monitorday.com – Dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 59, Allah SWT memerintahkan orang-orang beriman untuk taat kepada Allah, Rasul-Nya, dan ulil amri di antara mereka. Ayat ini menjadi dasar penting dalam memahami hubungan antara rakyat dengan pemimpin dalam Islam. Ulil amri dipahami sebagai pihak yang memegang kekuasaan, baik dalam ranah pemerintahan maupun kepemimpinan agama.
Namun, ketaatan kepada ulil amri bukanlah ketaatan yang mutlak tanpa batas. Ulama menegaskan bahwa selama perintah pemimpin tidak bertentangan dengan syariat Allah, maka wajib ditaati. Jika perintahnya bertentangan dengan agama, maka umat Islam tidak boleh mengikuti. Prinsip ini menjaga agar ketaatan kepada pemimpin tidak berubah menjadi bentuk kedzaliman.
Makna ulil amri juga mencakup keberagaman interpretasi. Ada yang menafsirkan ulil amri sebagai pemimpin politik, ada pula yang memahaminya sebagai ulama yang berperan sebagai penjaga agama. Kedua pandangan ini menunjukkan bahwa Islam memberikan ruang bagi kepemimpinan dalam dua dimensi, dunia dan akhirat.
Dalam sejarah Islam, para sahabat selalu menekankan pentingnya ketaatan kepada pemimpin untuk menjaga persatuan umat. Bahkan ketika pemimpin memiliki kekurangan, umat tetap diminta bersabar agar tidak timbul perpecahan yang lebih besar. Prinsip musyawarah juga ditegakkan agar pemimpin tidak otoriter dalam mengambil keputusan.
Di era modern, konsep ulil amri sering dikaitkan dengan pemerintah yang sah. Meski sistem politik berbeda dengan masa Rasulullah, prinsip taat kepada pemimpin tetap berlaku sepanjang tidak menyelisihi hukum Allah. Dengan begitu, ketaatan menjadi sarana menjaga ketertiban dan mencegah kekacauan sosial.
Memahami ulil amri berarti menyeimbangkan antara ketaatan dan kontrol syariat. Islam mengajarkan umat untuk tidak buta dalam mengikuti pemimpin, melainkan kritis dengan tetap menjaga adab dan persatuan.