Orientalisme adalah studi tentang kebudayaan, bahasa, agama, dan sejarah dunia Timur yang dilakukan oleh para sarjana Barat. Istilah ini berasal dari kata Orient (Timur) dan -isme yang menunjukkan paham atau aliran. Awalnya, orientalisme muncul sebagai kajian akademik murni untuk memahami peradaban Timur, terutama wilayah Arab, Persia, India, dan Tiongkok.
Akar orientalisme dapat ditelusuri sejak abad pertengahan ketika Eropa berinteraksi dengan dunia Islam melalui Perang Salib, perdagangan, dan penerjemahan karya-karya ilmuwan Muslim ke bahasa Latin. Namun, kajian yang terstruktur baru berkembang pesat pada abad ke-18 dan 19, seiring dengan ekspansi kolonialisme Barat ke wilayah Asia dan Afrika.
Pada masa itu, orientalisme tidak hanya berfungsi sebagai kajian ilmiah, tetapi juga menjadi alat politik. Pengetahuan yang diperoleh tentang bahasa dan budaya Timur digunakan untuk mempermudah penguasaan wilayah jajahan. Misalnya, Inggris mempelajari bahasa Arab dan Persia untuk memperkuat kendali mereka di Mesir dan India.
Orientalisme juga berperan besar dalam membentuk pandangan Barat terhadap Timur. Namun, gambaran yang dihasilkan sering kali penuh stereotip dan bias, menggambarkan dunia Timur sebagai eksotik, terbelakang, dan membutuhkan “bimbingan” Barat. Pandangan seperti ini kemudian dikritik oleh banyak sarjana, termasuk Edward Said dalam bukunya Orientalism (1978).
Meski begitu, tidak semua orientalis termotivasi oleh kepentingan politik. Ada juga yang murni tertarik pada kekayaan budaya Timur dan berkontribusi besar dalam pelestarian manuskrip, pengembangan studi bahasa, dan penelitian sejarah.
Sejarah orientalisme menunjukkan bahwa studi akademik dapat dipengaruhi oleh konteks politik. Ia menjadi cermin hubungan yang kompleks antara pengetahuan dan kekuasaan, di mana ilmu dapat digunakan untuk tujuan mulia sekaligus kepentingan strategis.