Banyak cendekiawan Muslim mengkritik orientalisme karena dianggap memiliki bias dan motif tersembunyi. Kritik ini muncul karena sebagian besar studi orientalis dilakukan pada masa kolonial, sehingga sering kali sarat dengan kepentingan politik dan misi agama.
Bias orientalisme terlihat dari cara mereka menggambarkan Islam dan dunia Timur. Dalam banyak karya, Islam diposisikan sebagai agama yang statis, irasional, dan inferior dibandingkan peradaban Barat. Stereotip seperti ini kemudian mempengaruhi opini publik Barat terhadap dunia Islam.
Motif politik juga tidak bisa dilepaskan dari orientalisme. Pengetahuan tentang bahasa, hukum, dan adat istiadat Timur digunakan oleh negara-negara kolonial untuk mengendalikan masyarakat jajahan. Hal ini membuat orientalisme kerap dianggap sebagai “ilmu penjajahan” yang membantu proyek imperialisme.
Selain itu, orientalisme juga digunakan untuk mendukung misi kristenisasi. Beberapa orientalis adalah misionaris yang mempelajari Islam agar lebih mudah melakukan dakwah kepada umat Muslim. Pendekatan ini sering kali tidak objektif dan sarat prasangka.
Dampak dari bias orientalisme adalah lahirnya ketidakpercayaan sebagian umat Islam terhadap kajian akademik Barat. Banyak yang menganggap hasil penelitian orientalis tidak layak dijadikan rujukan kecuali setelah dikaji ulang oleh ulama Muslim.
Kritik terhadap orientalisme mendorong lahirnya gerakan studi Islam dari perspektif internal umat Islam sendiri. Tujuannya adalah menghasilkan kajian yang adil, akurat, dan bebas dari agenda tersembunyi.