Ikhtilaf di kalangan ulama adalah fenomena yang tak bisa dihindari dalam dunia keilmuan Islam. Justru dari perbedaan-perbedaan inilah muncul berbagai pemikiran yang memperkaya khazanah hukum Islam, sekaligus memberikan pilihan solusi yang sesuai dengan kondisi umat di berbagai belahan dunia.
Setiap ulama memiliki latar belakang pendidikan, kondisi sosial, dan pengalaman berbeda yang memengaruhi cara mereka memahami teks agama. Maka wajar jika muncul ragam ijtihad dan fatwa, terutama dalam masalah-masalah furu’ (cabang), bukan ushul (pokok).
Sebagai contoh, Imam Malik yang hidup di Madinah lebih banyak merujuk pada praktik penduduk Madinah sebagai hujah. Sementara Imam Abu Hanifah yang hidup di Kufah, Irak, lebih menggunakan pendekatan rasional dalam ijtihadnya karena sedikitnya hadis yang sampai ke sana saat itu. Ini mencerminkan bahwa fatwa dan ijtihad tidak bisa dilepaskan dari konteks.
Namun, ikhtilaf juga bisa menjadi tantangan bagi persatuan jika tidak dikelola dengan baik. Ketika perbedaan dibumbui fanatisme buta terhadap mazhab atau tokoh, umat bisa terpecah. Itulah sebabnya, penting untuk mengedepankan prinsip tasamuh (toleransi) dan husnudzan (berprasangka baik).
Tugas kita bukan menyeragamkan pendapat, tetapi membangun sikap dewasa dalam menyikapi perbedaan. Islam memberi ruang untuk itu, asal tetap berada dalam koridor ilmiah dan adab.