Ruang Sujud

Menjaga Lisan dari Istihza’: Refleksi untuk Muslim Milenial

Di era digital saat ini, kita hidup dalam dunia yang serba cepat, dinamis, dan penuh kebebasan berekspresi. Setiap orang bebas membuat status, membagikan meme, menulis komentar, dan membuat konten. Namun di tengah semangat ekspresi ini, ada satu bahaya besar yang sering luput dari perhatian: istihza’, atau memperolok agama. Sebuah lisan atau tulisan yang tampak ringan, ternyata bisa menjadi penyebab seseorang tergelincir dari keislamannya.

Apa Itu Istihza’?

Istihza’ secara sederhana berarti mengejek, mempermainkan, atau merendahkan sesuatu yang suci. Dalam konteks Islam, istihza’ berarti memperolok hal-hal yang berkaitan dengan agama, seperti Allah, Rasul-Nya, Al-Qur’an, syariat, ibadah, dan simbol-simbol Islam lainnya.

Istihza’ bukan sekadar maksiat ringan. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT menyebut bahwa orang-orang yang memperolok agama telah kafir setelah beriman, meskipun mereka berdalih hanya sedang bergurau.

> “Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan), pasti mereka akan menjawab: ‘Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja.’ Katakanlah: ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?’ Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman.”
(QS. At-Taubah: 65–66)

Ayat ini menunjukkan bahwa niat bercanda tidak menjadi alasan yang dapat membenarkan perbuatan istihza’. Bahkan gurauan yang melecehkan agama tetap dihitung sebagai tindakan kekufuran.

Fenomena Istihza’ di Kalangan Muslim Milenial

Di era media sosial, kita dengan mudah menemukan candaan yang menyerempet hal-hal sensitif dalam agama. Beberapa contohnya:

Meme tentang malaikat pencatat amal yang digambarkan seperti satpam atau CCTV.

Advertisement. Scroll to continue reading.

Lelucon tentang surga dan neraka yang disampaikan dalam konteks komedi.

Sindiran terhadap ajaran poligami atau hukum waris yang diungkapkan dengan nada meremehkan.

Komentar sinis terhadap ibadah, seperti menyebut salat sebagai “ritual kuno.”

Video parodi azan atau orang berdakwah yang dijadikan bahan tertawaan.

Seringkali semua itu dibungkus dengan kalimat, “Ini cuma lucu-lucuan kok.” Padahal, apa pun yang merendahkan nilai-nilai Islam tetap termasuk dalam kategori istihza’, bahkan jika tidak dimaksudkan untuk menghina secara serius.

Menjaga Lisan dan Jari di Era Digital

Islam sangat menekankan pentingnya menjaga lisan. Rasulullah SAW bersabda:

> “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Namun, dalam konteks hari ini, menjaga lisan saja tidak cukup. Kita juga perlu menjaga jari dan layar—yakni apa yang kita ketik, kita posting, kita bagikan. Sebab dalam pandangan syariat, apa yang ditulis sama beratnya dengan apa yang diucapkan.

Advertisement. Scroll to continue reading.

Bayangkan jika seseorang membuat atau menyebarkan konten yang memperolok agama. Lalu konten itu dilihat ribuan orang dan ditiru. Maka bukan hanya dia yang berdosa, tapi juga menanggung dosa dari setiap orang yang terpengaruh olehnya.

Mengapa Kita Sering Lengah?

Banyak dari kita, terutama generasi muda, tidak menyadari seriusnya bahaya istihza’. Ada beberapa faktor yang membuat kita lengah:

1. Budaya Komedi yang Bebas: Banyak komedian atau kreator konten menggunakan agama sebagai bahan tertawaan demi viralitas.

2. Kurangnya Pemahaman Agama: Sebagian orang tidak tahu bahwa bercanda soal agama bisa membatalkan keimanan.

3. Normalisasi di Media Sosial: Karena sudah sering melihat, kita jadi menganggap biasa hal-hal yang sebenarnya sangat serius dalam pandangan Islam.

4. Keinginan Terlihat Kritis atau “Berani”: Kadang orang merasa keren jika bisa menyindir agama dengan gaya intelektual, padahal yang dilakukan justru memperolok syariat.

Solusi: Literasi Iman dan Etika Digital

Untuk menghindari jebakan istihza’, ada beberapa langkah yang bisa kita lakukan:

Advertisement. Scroll to continue reading.

Perbanyak ilmu tentang akidah, agar kita tahu mana batas bercanda dan mana yang sudah masuk wilayah kekufuran.

Berlatih berpikir sebelum bicara dan mengetik. Jika kita ragu apakah sesuatu pantas untuk diucapkan, maka diam adalah pilihan paling aman.

Bersihkan timeline dan pergaulan digital dari akun-akun atau konten yang sering memperolok agama.

Tegur dengan bijak jika ada teman atau kerabat yang mulai masuk ke wilayah istihza’.

Isi media sosial dengan konten positif yang menguatkan iman dan mencerdaskan umat, bukan sekadar lucu-lucuan.

Penutup: Menjaga Iman Adalah Prioritas Utama

Bagi seorang muslim, iman adalah aset paling berharga. Ia tidak boleh ditukar dengan apa pun, apalagi dengan tawa singkat yang menjerumuskan. Rasulullah SAW bersabda:

> “Seseorang mengucapkan suatu perkataan yang ia anggap ringan, namun karena itu ia tergelincir ke dalam neraka sejauh antara timur dan barat.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Istihza’ bukan hanya dosa, tapi bisa menjadi jalan kekufuran jika tidak segera disadari dan ditaubati. Maka, wahai saudara Muslim, jagalah lisan, jagalah jari, jagalah iman. Karena tidak ada yang tahu ucapan mana yang akan menjadi penentu keselamatan kita di akhirat nanti.

Advertisement. Scroll to continue reading.
Exit mobile version