Dalam kehidupan beragama, setiap Muslim tentu ingin menjadi pribadi yang taat dan dekat dengan Allah. Salah satu bentuk dari keinginan itu adalah memperbanyak ibadah, menjalankan sunnah, dan menjauhi larangan-Nya. Namun, yang kerap tidak disadari adalah bahwa semangat dalam beribadah bisa berubah menjadi sikap berlebihan jika tidak dibingkai dengan ilmu dan tuntunan yang benar. Inilah yang disebut dengan ghuluw, atau sikap ekstrem dan melampaui batas dalam beragama, termasuk dalam beribadah.
1. Pengertian Ghuluw dalam Ibadah
Secara bahasa, ghuluw berasal dari kata ghala yang berarti melampaui batas atau berlebih-lebihan. Dalam konteks ibadah, ghuluw adalah menjalankan ibadah melebihi apa yang disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Seseorang yang terjerumus dalam ghuluw biasanya termotivasi oleh niat baik, namun sayangnya tidak disertai dengan pemahaman yang benar.
Contoh sederhana dari ghuluw adalah seseorang yang merasa wajib salat malam setiap hari tanpa henti, bahkan menganggap orang yang tidak melakukannya sebagai kurang bertakwa. Padahal, salat malam adalah ibadah sunnah yang sangat dianjurkan, tetapi tidak diwajibkan. Ketika seseorang memaksakan diri dan menganggap itu sebagai kewajiban, ia telah keluar dari prinsip moderasi yang diajarkan dalam Islam.
2. Teladan Nabi Muhammad dalam Mencegah Ghuluw
Nabi Muhammad SAW adalah contoh terbaik dalam hal keseimbangan ibadah. Beliau sangat rajin beribadah, namun juga memberi ruang bagi umatnya untuk menjalani kehidupan secara seimbang. Suatu ketika, tiga orang sahabat datang kepada istri Nabi, menanyakan bagaimana ibadah Rasulullah di rumah. Setelah mendengar penjelasan Aisyah RA, mereka merasa bahwa mereka harus melakukan lebih dari itu.
Salah satu dari mereka berkata akan salat malam sepanjang waktu, yang lain berkata akan berpuasa setiap hari, dan yang ketiga berkata tidak akan menikah. Ketika Nabi mendengar hal ini, beliau bersabda:
“Kalian berkata begini dan begitu, demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian dan paling bertakwa. Akan tetapi, aku berpuasa dan berbuka, aku salat dan aku tidur, dan aku juga menikah. Barang siapa membenci sunnahku, maka dia bukan dari golonganku.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menunjukkan dengan jelas bahwa Islam tidak mengajarkan ghuluw, bahkan Rasulullah sendiri menegur orang-orang yang ingin berlebihan dalam beribadah.
3. Dampak Negatif Ghuluw dalam Ibadah
Ghuluw dalam ibadah tidak hanya menyimpang dari tuntunan syariat, tetapi juga berpotensi merugikan pelakunya secara fisik dan mental. Seseorang yang terlalu memaksakan ibadah bisa mengalami kelelahan, kehilangan semangat, atau bahkan membenci ibadah itu sendiri karena merasa terbebani. Inilah sebabnya dalam hadis lain Nabi bersabda:
“Sesungguhnya agama ini mudah, dan tidaklah seseorang mempersulit dirinya dalam agama kecuali dia akan dikalahkan. Maka luruskanlah, dekatkanlah, dan berilah kabar gembira.” (HR. Bukhari)
Ghuluw juga bisa membuat seseorang menjadi sombong secara spiritual. Ia merasa lebih baik dari orang lain karena ibadahnya yang lebih banyak, lalu mulai meremehkan mereka yang ibadahnya “biasa-biasa saja”. Ini bisa menumbuhkan penyakit hati seperti ujub (bangga diri), riya (pamer), dan takabur (sombong).
4. Ghuluw yang Terorganisir: Jalan Menuju Radikalisme
Ghuluw dalam ibadah yang tidak segera disadarkan bisa berkembang menjadi bentuk ekstremisme yang lebih luas. Dalam sejarah umat Islam, tidak sedikit kelompok yang lahir dari semangat beribadah yang berlebihan, lalu berkembang menjadi fanatisme dan mengkafirkan sesama Muslim. Mereka merasa paling benar, dan ibadah mereka dijadikan tolok ukur keimanan orang lain.
Inilah yang harus diwaspadai oleh umat Islam. Semangat dalam beragama harus dibimbing oleh ilmu dan disalurkan dalam bingkai syariat yang benar. Tanpa ilmu, ibadah bisa menjadi jalan menuju kesesatan, meskipun awalnya dimotivasi oleh niat baik.
5. Menjaga Keseimbangan: Jalan Tengah dalam Ibadah
Islam adalah agama yang mengajarkan keseimbangan, atau yang dalam istilah Arab disebut dengan wasathiyyah. Konsep ini menekankan bahwa kehidupan dunia dan akhirat harus berjalan selaras. Ibadah kepada Allah memang menjadi tujuan utama hidup seorang Muslim, tetapi Islam juga memerintahkan untuk bekerja, bersosialisasi, membina keluarga, dan menjaga kesehatan.
Dalam surat Al-Baqarah ayat 143, Allah menyebut umat Islam sebagai ummatan wasathan (umat pertengahan), yaitu umat yang tidak condong kepada ekstrem kanan maupun kiri. Artinya, Islam tidak menginginkan penganutnya menjadi pemalas dalam ibadah, tetapi juga tidak berlebihan sampai melampaui batas yang ditentukan.
Cara menjaga keseimbangan ini adalah dengan memahami bahwa ibadah yang diterima oleh Allah adalah yang dikerjakan dengan ikhlas dan sesuai tuntunan Rasulullah SAW. Rasulullah mengingatkan, “Amal yang paling dicintai Allah adalah yang paling terus-menerus, meskipun sedikit.” (HR. Bukhari dan Muslim). Artinya, kualitas dan konsistensi lebih penting daripada kuantitas yang melelahkan dan tidak bertahan lama.
Penutup
Ghuluw dalam ibadah adalah fenomena yang harus diwaspadai oleh setiap Muslim. Meskipun berangkat dari niat baik untuk menjadi lebih dekat dengan Allah, namun jika tidak dikontrol, bisa berubah menjadi penyimpangan dari syariat Islam itu sendiri. Nabi Muhammad SAW telah memberikan teladan bahwa agama ini dibangun di atas kemudahan dan keseimbangan, bukan pada kesulitan dan pemaksaan.
Ibadah yang benar bukanlah yang paling banyak, tetapi yang paling sesuai dengan tuntunan Rasulullah, dilakukan dengan ikhlas, dan dijalani secara seimbang dengan kehidupan sehari-hari. Dengan memahami hal ini, umat Islam akan terhindar dari jebakan ghuluw dan tetap berada di jalan yang lurus.