Pernah ada seorang prajurit Syam yang sangat ulung dalam peperangan. Namun, sayangnya, ia memiliki kebiasaan yang kurang baik yang akhirnya sampai ke telinga Umar bin Khaththab.
Umar, dengan rasa ingin tahu, bertanya kepada para rekan prajuritnya, “Apa yang bisa Anda katakan tentang Fulan ini?” Mereka menjawab dengan jujur, “Amirul Mukminin, dia seringkali terlibat dalam minuman keras.”
Mendengar kabar yang tidak mengenakan ini, Amirul Mukminin sangat terkejut. Tanpa ragu, ia memanggil sekretarisnya dan memerintahkannya untuk menulis surat kepada prajurit yang bersangkutan. Surat tersebut berisi pesan sebagai berikut:
Dari Umar bin Khaththab kepada Fulan bin Fulan.
Salam sejahtera bagimu,
Segala puji bagi Allah, yang tiada Tuhan selain-Nya, Dia yang Maha Pengampun dosa, Penerima tobat, dan sangat keras hukuman-Nya. Hanya kepada-Nya kita kembali.
Selain menulis surat, Umar juga berbicara kepada rekan-rekan prajurit si Fulan. “Mari kita bersama-sama mendoakan saudara kita ini agar hatinya dibuka dan ia bertobat,” ujarnya.
Surat dari Amirul Mukminin akhirnya sampai kepada sang prajurit. Dengan hati yang penuh haru, ia membaca surat tersebut berkali-kali. Surat itu membuatnya berpikir lebih dalam. Dalam refleksi pribadinya, ia berkata, “Allah yang Maha Pengampun dosa, Penerima tobat, dan sangat keras hukuman-Nya. Sungguh, Allah telah memberikan peringatan kepada saya tentang hukuman-Nya dan janji-Nya untuk mengampuni.”
Membaca surat tersebut membuatnya menangis. Itu adalah takdir Allah, yang akhirnya membuatnya meninggalkan perbuatan buruknya dan bertaubat.
Ketika kabar tentang pertobatannya sampai kepada Umar, Amirul Mukminin berkata, “Jika kita melihat saudara kita melakukan hal yang buruk, kita harus membimbingnya dan mendoakannya. Kita tidak boleh menjadi alat setan.”
Dengan kata lain, kita tidak boleh mencaci, merendahkan, atau mengejek orang-orang yang sedang terjerumus dalam dosa dan kemaksiatan. Mereka memerlukan panduan dan dakwah, bukan penghakiman.