Pada suatu waktu, Abu Bakar merasa sangat marah dan juga bersedih hati karena terdengar desas-desus yang sangat memalukan tentang Aisyah, putrinya yang dicintainya dengan sepenuh hati. Aisyah dituduh bersalah atas tindakan zina yang tak pantas dilakukan oleh seorang sahabat Nabi yang terhormat.
Tentu saja, ini adalah tuduhan yang sungguh kejam dan tak berdasar. Abu Bakar pun memutuskan untuk mencari tahu siapa yang menyebarkan berita palsu ini. Setelah penyelidikan yang panjang, akhirnya terungkap bahwa salah satu orang yang turut menyebarkan gosip ini adalah Misthah bin Utsasah, yang tak lain adalah sepupu kandung Abu Bakar.
Ketika kabar ini mencuat, Abu Bakar merasa seperti petir yang menyambar di siang bolong. Kalau saja cerita ini dijadikan film, Misthah pasti menjadi tokoh antagonis paling dibenci karena “pengkhianatannya” itu. Pikirkan saja, yang menyebarkan fitnah tentang anak perempuan Abu Bakar adalah sepupunya sendiri, yang selama ini telah Abu Bakar bantu dan dukung dalam berbagai aspek kehidupannya. Abu Bakar telah menyayangi dan membantu Misthah dengan tulus, tetapi ia justru dikhianati oleh kerabat dekatnya.
Misthah sendiri bukanlah pencipta fitnah ini. Ia adalah pria baik hati. Misthah adalah bagian dari kelompok Muhajirin yang hijrah dari Makkah ke Madinah. Ia juga berjuang bersama Rasulullah dalam Perang Badar. Namun, ia terjerat oleh desas-desus yang menyebar, dan sayangnya, alih-alih mencari kebenaran, Misthah ikut serta dalam penyebaran fitnah tersebut.
Akibat fitnah ini, semua kebaikan yang telah dilakukan Misthah menjadi tidak berarti lagi. Namanya dicemarkan dengan sangat buruk. Bagaimana tidak, ia menyebarkan fitnah tentang istri Nabi Muhammad. Hal ini secara otomatis menimbulkan kemarahan di kalangan umat Islam, terutama di antara para sahabat. Mereka dengan cepat memberikan reaksi yang negatif terhadap Misthah. Ia dihujat, dihindari, bahkan dalam satu laporan, ibunya sendiri mengutuk Misthah. Sejak saat itu, Misthah hidup dalam penderitaan yang mendalam.
Lalu, bagaimana dengan Abu Bakar? Tentu saja, ia sangat kecewa. Marah, jengkel, dan merasa dikhianati. Bahkan, Abu Bakar bersumpah dengan sangat serius, seperti yang dicatat dalam hadis riwayat Ahmad,
“Demi Allah, aku tidak akan memberikan sepeser pun kepada Misthah selamanya.”
Abu Bakar bukanlah sembarangan sahabat. Ia adalah salah satu orang terdekat Nabi, terkenal dengan kejujurannya yang luar biasa. Ia adalah pribadi yang sopan dan sangat pemurah. Jika orang dengan karakter sehebat itu bahkan sampai bersumpah seperti itu terhadap Misthah, maka jelas bahwa kekecewaan Abu Bakar sungguh mendalam dan kesalahan Misthah sungguh serius. Namun, reaksi Abu Bakar ini ternyata tidak sejalan dengan ajaran Islam. Allah SWT segera menanggapi sumpah serapah Abu Bakar melalui ayat di QS. an-Nur: 22,
“Dan janganlah orang-orang yang memiliki kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka tidak akan memberi bantuan kepada kerabatnya, orang-orang miskin, dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah; dan hendaklah mereka memaafkan dan bersikap lapang dada. Tidakkah kamu ingin agar Allah mengampuni dosamu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
Ayat ini dengan jelas mengajarkan bahwa Allah tidak menginginkan hamba-hamba-Nya untuk tidak memaafkan sesama, meskipun mereka merasa kecewa. Allah menegur orang-orang yang sombong dengan harta mereka, lalu memperlakukan orang lain secara sewenang-wenang hanya karena mereka merasa kecewa.