Sayyidah Nafisah, putri dari Hasan al Anwar bin Zaid al Ablaj bin Hasan bin Ali, semoga Allah memberkahi wajhahnya, dilahirkan dalam garis keturunan yang sangat terhormat dan istimewa. Ibu kandungnya, seperti Hajar, ibu Nabi Ismail, adalah seorang ‘Ummu Walad’ (seorang budak perempuan yang menikah dengan tuannya).
Sudah menjadi pemandangan umum melihat Hasan al Anwar mengajar pelajaran agama dan studi Quran di Masjidil Haram. Suatu hari, dia menerima kabar bahagia tentang kelahiran putrinya yang cantik. Penuh kebahagiaan, dia berdoa untuknya dan memberikan hadiah kepada utusan tersebut, mengatakan, “Beritahu keluarga kami untuk memberinya nama Nafisah, dengan harapan bahwa dia akan tumbuh menjadi jiwa yang saleh dan suci.”
Kabar kelahiran Sayyidah Nafisah menyebar seperti api, dan orang-orang dari berbagai tempat datang untuk memberikan ucapan selamat kepada keluarga bangsawan ini. Secara kebetulan, seorang utusan dari Khalifah Abbasiyah Abu Ja’far Al Mansur datang, membawa sebuah buku dan hadiah berlimpah sebesar 20.000 Dinar.
Air mata menyirip di mata Hasan al Anwar ketika dia berbagi, “Khalifah telah menunjuk saya sebagai Gubernur Madinah Al-Munawwarah.” Kabar ini disambut dengan sukacita besar di Makkah.
Dia melanjutkan, “Meskipun peran kepemimpinan ini tanpa keraguan adalah berkat dari Allah, putri saya Nafisah adalah pembawa berita yang lebih besar. Mungkin, kelahirannya adalah tanda kasih sayang Ilahi.”
Menghabiskan masa kecilnya di tengah kota suci Makkah, Sayyidah Nafisah tenggelam dalam pendidikan Quran dan studi Hadis sejak usia yang sangat muda. Dia mulai menghafal Quran dan mempelajari tradisi Hadis pada usia delapan tahun.
Sayyidah Nafisah sering berdoa, mengatakan, “Ya Allah, jauhkan hatiku dari gangguan, bantu saya mendekat kepada-Mu dalam setiap aspek kehidupan saya, fasilitasi ketaatan saya kepada-Mu, jadikan saya salah satu hamba yang tekun kepada-Mu, karena dalam waktu sulit, hanya kepada-Mu manusia berharap untuk pertolongan.”
Sejak usia dini, Sayyidah Nafisah memiliki kesempatan untuk bertemu dengan banyak individu shaleh, termasuk Imam Malik bin Anas, penulis “Al Muwattha,” Imam Daar al Hijrah, dan narator Hadis yang terpercaya.
Pernikahan
Pernikahan Sayyidah Nafisah dengan Ishaq bin Ja’far as Shadiq adalah momen bersejarah. Ishaq, dikenal karena kepercayaannya yang teguh dan ketulusannya, adalah seorang pemuda yang sangat dihormati di kalangan teman-temannya. Dia adalah putra dari Imam Ja’far al Shadiq bin Muhammad al Baqir bin Ali Zainal Abidin, cicit Nabi Muhammad (saw).
Banyak pemuda yang mencoba melamar Sayyidah Nafisah, tetapi dia selalu menjawab, “Saya ingin mengembalikan kepercayaan pada pemiliknya, mengembalikan tetesan ke lautan, dan menanamkan mawar di kebunnya.”
Kata-kata ini membingungkan mereka yang mendengarnya, sehingga mereka berpikir ada makna tersembunyi di balik penolakannya.
Meskipun begitu, Ishaq bertekad untuk terus mencoba. Dia berdoa kepada Allah untuk petunjuk, dan dengan berkah dari Ahlul Bait, dia sekali lagi mengajukan lamarannya. Sayangnya, usaha pertamanya ditolak, membuatnya patah hati.
Mencari kelegaan, Ishaq mengunjungi Masjid Nabawi dan berdiri di samping kuburan Nabi, mengatakan, “Semoga berkah dan keselamatan senantiasa tercurah padamu, Wahai Rasulullah, Pemimpin semua Nabi, Penutup para Nabi, dan Kekasih Tuhan semesta alam. Saya datang untuk memberitahukan kepadamu tentang situasiku. Saya mohon bantuanmu; engkau adalah penengah bagi umat manusia, dan kami mencari pertolongan dari-Mu. Saya telah melamar Nafisah, tetapi ayahnya menolak saya.” Setelah memberikan salam, dia meninggalkan kuburan Nabi.
Keesokan harinya, Ishaq menerima kabar mengejutkan: dia telah dipanggil oleh Hasan al Anwar. Ketika mereka bertemu, Hasan berbagi, “Semalam, saya bermimpi bertemu dengan kakek saya, Nabi Muhammad, dalam bentuk yang cemerlang. Beliau menyapaku dan mengatakan, ‘Wahai Hasan, nikahkan putrimu Nafisah dengan Ishaq al Mu’tamin!’”
Pernikahan mereka berlangsung pada Jumat yang diberkahi, tanggal 1 Rajab tahun 161 H. Pernikahan ini menyatukan garis keturunan Hasan dan Husain, radiyaAllahu ‘anhum.
Perjalanan ke Mesir
Ketika tiba di Mesir, Sayyidah Nafisah disambut dengan antusiasme dan kehangatan yang luar biasa. Orang-orang dengan senang hati menawarkan makanan padanya, meskipun dia telah hidup dalam kemapanan relatif di Madinah. Gaya hidup asketisnya di Mesir sungguh luar biasa.
Keponakannya, Zainab, pernah berkata, “Saya melayaninya selama 40 tahun dan tidak pernah melihatnya tidur semalaman atau berpuasa kecuali pada hari Idul Fitri dan tiga hari Tasyriq.”
Mukjizat Sungai
Selama masa tinggalnya di Mesir, Sayyidah Nafisah menghadapi tantangan Sungai Nil yang mengering. Orang-orang mendekatinya, memohon doanya. Dia memberikan jilbabnya