Cintailah kekasihmu sewajarnya, boleh jadi suatu ketika dia menjadi musuhmu. Bencilah musuhmu sewajarnya, boleh jadi suatu ketika dia menjadi kekasihmu. (HR. At Tirmidziy)
Nasehat yang indah tersebut sangat relevan dengan kehidupan kita sehari-hari. Tak hanya berlaku dalam hubungan sepasang kekasih, terkadang kita juga mencintai harta atau jabatan kita. Bahkan yang sedang trend adalah mencintai pilihan politik kita seraya mencela pilihan politik lawan.
Hadits di atas juga relevan dengan konteks dukung mendukung dalam politik hari ini. Jangan fanatik, sekadarnya saja.
Ada seorang politisi mantan aktivis yang tiba-tiba merapat kepada capres yang identik dengan kasus pelanggaran HAM. Ada seorang ketua partai yang identik dengan basis masa muslim tradisionalis merapat kepada tokoh yang identik dengan muslim modernis, bahkan radikal.
Dinamika seperti ini biasa saja dalam kontestasi politik kita. Yang salah adalah jika kita menjadikannya bagian dari akidah atau keyakinan. Seolah-olah politik adalah jihad yang suci.
Mari kita ingat sebuah petuah yang disampaikan oleh Sahabat Ali bin Abi Thalib. Beliau pernah berkata: Aku pernah melewati berbagai kesulitan dalam hidup, dan yang paling pahit adalah berharap kepada manusia.
Memang, kita senantiasa berharap orang lain mengikuti kemauan kita. Dalam tingkatan tertentu wajar saja. Yang penting adalah kita harus siap jika apa yang kita harapkan tak jadi kenyataan.
Jika kita menelaah Al Qur’an dan Sunnah, sikap tengahan atau moderat adalah posisi yang paling baik. Hadits di atas mendorong kita agar bersikap tengahan dalam cinta dan benci. Tidak terlalu kurang, namun jangan berlebihan juga.
Dengan sikap moderat maka kita akan selamat dari fanatisme yang membutakan dan mencelakakan. Kita juga akan bisa jernih dalam melihat suatu permasalahan.