“Ya Tuhan kami, berilah kebaikan di dunia, juga kebaikan di akhirat. Dan peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS Al Baqarah: 201)
Kesuksesan adalah tujuan semua manusia. Karenannyalah manusia berjibaku bekerja keras melakukan semua cara dan memaksimalkan usaha. Kesuksesan yang dicari setiap orang pun bermacam-macam. Itu kenapa definisi kesuksesan setiap orang berbeda-beda. Ada yang mencari kesuksesan berupa memiliki rumah mewah, mobil mewah, jabatan, pangkat, dan ada juga yang mencari kesuksesan akhirat dengan berharap masuk surga sehingga mereka hanya memaksimalkan semua usaha di dunia supaya bernilai ibadah di sisi-Nya.
Sukses Mulia. Sebuah istilah yang menarik untuk diperbincangkan. Saya menemukan istilah ini pertama kali di buku Kubik Leadership karya Jamil Azzaini dkk. Setelah membaca ulasan di buku tersebut, saya langsung sepakat dengan idenya bahwa kesuksesan tanpa kemuliaan adalah sebuah kekosongan. Percuma memiliki harta berlimpah dan jabatan prestisius tetapi jauh dari kebahagiaan batin karena hilangnya keberkahan atau kemuliaan dari harta dan jabatan yang dimiliki. Karena sejatinya hakikat penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah SWT, sebagaimana firmanNya:
“Aku tidaklah ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah hanya kepada Ku.” (QS Adz-Dzariyat:56)
Dalam konteks kesuksesan dan kemuliaan, bisa diartikan bahwa kesuksesan dunia semestinya membawa kita kepada totalitas ibadah kepada Zat yang memberi kita kesuksesan. Akan menjadi sangat kontradiktif ketika kesuksesan dunia justru menjauhkan kita dari ibadah kepadaNya. Marilah kita belajar dari salah seorang murid sekaligus sahabat Rasulullah SAW, Abu Darda. Beliau dijuluki sebagai orang bijak yang tiada duanya, filosof yang karismatik.
Dalam buku karya Khalid Muhammad Khalid yang berjudul 60 Sirah Sahabat Rasulullah SAW, diulas ketika Abu Darda menceritakan dirinya dengan detail bagaimana beliau meninggalkan bisnisnya karena takut melalaikan zikrullah, mengingat Allah. “Sekarang, meskipun setiap hari aku mendapat untung 300 dinar, atau bahkan toko itu berada di depan masjid, aku sama sekali tidak akan tertarik”, ungkapnya. Lihatlah, bagaimana Abu Darda sudah berada pada puncak kenikmatannya beribadah, sampai-sampai meninggalkan urusan dunia.
Untuk menjadi persis seperti Abu Darda, barangkali kita masih jauh. Minimal kita tidak terpedaya oleh urusan dunia sehingga lupa urusan akhirat. Padahal Allah menyuruh kita mengambil sedikit saja dari dunia dan menguatamakan porsi terbesar untuk urusan akhirat.
“Carilah negeri akhirat pada nikmat yang diberikan Allah kepadamu, tapi jangan kamu lupakan bagianmu dari dunia.” (QS Al-Qosos: 77)
Pada ayat ini, jelas bahwa Allah menyuruh kita untuk mengambil bagian di dunia dan memanfaatkannya untuk kehidupan akhirat. Artinya, kehidupan dunia semata-mata adalah sebuah proses untuk mengumpulkan bekal sebanyak-banyaknya untuk kehidupan abadi di akhirat. Rasulullah juga pernah bersabda:
“Yang sedikit mencukupi, lebih baik daripada yang banyak melenakan. “
“Menjauhlah dari dunia sebisa kalian karena barangsiapa yang menjadikan dunia sebagai tujuan utamanya, Allah akan mencerai-beraikan kekuatannya, dan menjadikan kemiskinan di depan matanya. Dan barangsiapa yang menjadikan akhirat sebagai tujuan utamanya, Allah akan menghimpun kekuatannya, menjadikan kecukupan di hatinya dan Allah memudahkannya mendapat kebaikan.”
Dari hadits di atas, jelas bahwa orientasi kita akan kehidupan ini akan mendapatkan dua konsekuensi. Jika orientasi kita dunia, maka Allah akan miskinkan. Tetapi jika orientasi kita akhirat maka Allah akan mencukupkan. Dengan kata lain, jika kita memilih dunia maka tidak mungkin akan mendapatkan akhirat dan belum tentu mendapatkan dunia. Sebaliknya, jika kita memilih akhirat, maka otomatis dunia didapat, akhirat juga akan diraih.