Suatu hari, saat matahari bersinar terang, Nabi Sulaiman a.s. berbaring tenang. Tiba-tiba, sebuah semut kecil berjalan di dadanya. Tanpa berpikir panjang, Nabi Sulaiman mengangkat semut itu dan melemparkannya jauh.
Dalam kemarahannya, semut itu berbicara, “Wahai Nabi Allah, mengapa engkau melemparku dengan begitu keras? Apakah kamu lupa bahwa pada hari kiamat nanti, engkau akan berdiri di hadapan Tuhan Pencipta segala kerajaan, yang Mahaadil, yang akan mengambil hak orang yang dizalimi dari orang yang menzaliminya?”
Mendengar teguran bijak semut itu, Nabi Sulaiman a.s. tersentak. Setelah sadar, ia memandangi semut tersebut dan dengan rendah hati berkata, “Sungguh, aku meminta maaf atas tindakanku yang zalim tadi.”
Sang semut kemudian menjawab, “Aku akan memaafkanmu dengan tiga syarat.”
Tertarik, Nabi Sulaiman bertanya, “Mohon sebutkan ketiga syarat itu.”
“Syarat pertama,” ucap semut, “Jangan pernah menolak orang yang meminta pertolonganmu. Ingatlah bahwa mereka memohon bantuanmu adalah ujian dari Allah, maka jangan pernah engkau cegah karunia Allah untuk mereka.”
“Kemudian syarat kedua,” lanjut semut, “Jangan tertawa berlebihan sehingga kamu lupa akan akhirat dan merasa telah mencukupkan dunia ini. Jangan biarkan hatimu menjadi keras, padahal Allah telah memberimu kerajaan dan kekayaan.”
“Dan syarat ketiga,” tegas semut, “Jangan biarkan kedudukanmu menghalangimu untuk membantu orang yang membutuhkan pertolonganmu.”
Nabi Sulaiman a.s. mengangguk mengerti, “Dengan izin Allah, aku akan mematuhi ketiga syarat tersebut.”
“Sungguh baik,” sahut semut, “Kini aku telah memaafkanmu.”
Kisah bijak ini mengingatkan kita akan pentingnya sifat rendah hati, belas kasih, dan kebijaksanaan dalam hidup. Tidak peduli seberapa besar kedudukan atau kekayaan yang kita miliki, kita tetap diuji oleh cara kita bersikap terhadap sesama manusia dan bagaimana kita menggunakan karunia Allah yang telah diberikan kepada kita. Semoga kisah ini menginspirasi kita untuk menjalani hidup dengan bijak dan penuh kasih sayang.