Jagad Twitter saat ini sedang dihebohkan oleh istilah PINPRI. PINPRI, yang merupakan kependekan dari Pinjaman Pribadi, adalah jenis pinjaman yang memanfaatkan platform media sosial untuk memenuhi kebutuhan pribadi. Banyak orang tertarik dengan tawaran PINPRI ini karena persyaratannya yang relatif sederhana. Hanya dengan melampirkan KTP, nomor WhatsApp, alamat tempat tinggal, bahkan akun media sosial, seseorang dapat mengajukan permohonan pinjaman.
Namun, ada peringatan yang perlu diperhatikan, yaitu bahwa PINPRI cenderung memberikan tenor atau jangka waktu yang sangat singkat dengan tingkat bunga yang cukup tinggi. Hal ini telah menimbulkan perdebatan di masyarakat, dengan beberapa pihak berpendapat bahwa PINPRI lebih berisiko dibandingkan dengan pinjaman online (Pinjol). Salah satu alasannya adalah karena PINPRI tidak tunduk pada badan hukum dan tidak diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Oleh karena itu, penyedia layanan PINPRI sering kali menggunakan tekanan dan ancaman terhadap peminjam yang gagal membayar pinjaman sesuai jadwal.
Dalam konteks Fikih Muamalah, konsep pinjam-meminjam dikenal sebagai Ariyah atau I’arah. Dalam kitab Al-Fiqh al-Minhaji, Ariyah atau I’arah merujuk pada izin penggunaan manfaat barang yang diizinkan oleh agama tanpa merusak fisik barang tersebut. Prinsip ini didasarkan pada ajaran Al-Quran, seperti yang terdapat dalam surat Al-Maidah ayat 2, yang mendorong tolong-menolong dalam perbuatan baik dan takwa.
Sekretaris Divisi Kajian Ekonomi Syariah Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Agus Miswanto, menjelaskan bahwa tolong-menolong, khususnya kepada mereka yang membutuhkan, adalah bagian integral dari ajaran Islam. Sebaliknya, mengeksploitasi individu yang lemah atau rentan merupakan tindakan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan prinsip ekonomi Islam. Pemahaman ini sejalan dengan ajaran yang ditemukan dalam Al-Quran, seperti dalam surat Al-Baqarah ayat 275, 276, 278, dan surat Al-Nisa ayat 161, yang melarang segala bentuk pinjaman yang melibatkan riba.
“Memberikan pinjaman dengan memungut bunga, terutama dengan bunga tinggi, bukanlah bentuk pertolongan, melainkan eksploitasi ekonomi yang menggunakan kebutuhan orang untuk keuntungan pribadi. Dengan kata lain, menindas ekonomi di bawah payung pertolongan sangat bertentangan dengan semangat ekonomi Islam dan prinsip kemanusiaan universal,” kata Agus kepada redaksi Muhammadiyah.or.id pada Jumat (01/09).
Dengan demikian, meskipun PINPRI menawarkan persyaratan yang mudah, tetapi ada risiko tinggi yang terkait dengannya dan hal ini tidak sejalan dengan prinsip-prinsip ekonomi Islam yang menekankan tolong-menolong dan keadilan ekonomi yang berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan. Oleh karena itu, ketika mempertimbangkan opsi pinjaman, penting bagi kita untuk merenungkan nilai-nilai agama dan prinsip-prinsip ekonomi yang mendukung kesejahteraan bersama dan memelihara keadilan.